Menyenangkan memang menghabiskan waktu bergumul di kedai kopi. Meski sejarah kopi adalah sejarah penaklukan seperti ditulis Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam Novelnya Max Havelaar (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Buku itu masih saja dicetak sampai sekarang dan sudah diterbitkan lebih dari 40 bahasa. Pada Tahun 1999, Pramudya merujuk buku ini di New York Time sebagai "Buku yang Membunuh Kolonialisme".
Memang ketika kopi menemukan dimensi sosialnya, dia tidak hanya sebagai komoditas konsumsi masyarakat, tapi juga menjadi wadah perekat dan pemantik diskusi-kritis. Kopi hadir sebagai stimulus ruang yang memperkenalkan banyak hal dengan begitu halus. Pada kenyataanya, kopi dianggap ampuh melancarkan pembicaraan dan membereskan suatu masalah.
Aroma kopi yang pekat, memang tak jarang dijadikan alat kekuasaan hingga menjadi akar kekacauan. Konon katanya, Ken Arok pun menggalang kekuatan politiknya dari kedai-kedai kopi para begal. Tukar ide di kedai kopi jugalah yang kemudian menjembatani pecahnya peristiwa Revolusi Perancis pada tahun 1789. Di Indonesia, kopi pun pernah menjadi media kritik pemerintahan represif melalui film komedi bertajuk Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro).
Kopi sehitam jelaga dalam term politik memancarkan dua kekuatan yang saling berhadapan: menjadi alat penaklukan dan sekaligus menjadi spirit kegigihan bagi para pejuang.
Bagi siapapun, kopi selalu menawarkan suguhan paling lumat dan guyub - dengan atau tanpa kepentingan. Kopi menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan, politik sampai alat meraih kekuasaan.
Begitulah ngopi, disatu sisi dia dipuja, dan disisi lain kadang ia dituduh durjana karena dianggap sebagai penanda bersarangnya ragam kepentingan.
Ahh... Bukankah sudah semestinya kopi juga mampu menjadi perekat keragaman?
Simbol perlawanan terhadap kesewenangan, bukannya menjadi sekat dan hanya menjadi semacam pertanda kemapanan. Tuntutan dan dukungan dalam "Cangkir Kopi" sudah sewajarnya merawat kritisisme, yang pada ahirnya, kopi akan menjadi saksi atas kepingan mozaik perjalanan umat manusia.
Mari bersulang kopi....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar